Mengapa santri tidak bisa membaca kitab kuning? Pertanyaan ini sengaja dibuat untuk menggambarkan betapa sulitnya membaca kitab kuning.

Hanya sebagian yang bisa membaca kitab kuning, dan sebagian lagi belum bisa membacanya, hal ini dibuktikan ketika adanya lomba-lomba pesantren yaitu musabaqoh akhir tahun. Masih banyak santri yang menyerah terlebih dahulu dan tidak menyelesaikan pembacaanya, karena dirasa sangat sulit.

Semua hal itu membuktikan bahwa santri belum bisa membaca kitab kuning, karena memang keahlian membaca kitab tidak bisa hanya dikarbit, apalagi kita hanya malas-malasan dan hanya bermain saja. Belajar membaca kitab kuning memang membutuhkan proses yang lama dan membutuhkan kesabaran. Ada beberapa syarat penting yang harus dimiliki santri untuk membaca kitab kuning di antaranya, bisa ilmu alat yaitu nahwu dan shorof, mengikuti pengajian bandongan, dan sorogan (praktek).

Jika tidak bisa memiliki aspek itu maka sulit untuk membaca kitab kuning. Dewasa ini sangat langka sekali santri yang bisa membaca kitab kuning. Apalah arti bangunan semakin besar dan mewah tapi SDM di dalamnya tidak bisa maksimal. Ditengarai akhir-akhir ini kompetisi pesantren akan semakin ketat dan hebat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang berdiri dan menyuguhkan sistem pembelajaran yang maksimal.

ada yang bisa?

Di antara santri juga banyak yang telah berhasil dan pintar membaca kitab kuning, mengapa begitu? Karena dia memiliki syaratnya. Pertama, bisa nahwu. Ilmu alat yang satu ini sangat penting sekali untuk bisa membaca kitab kuning karena ini berkaitan dengan i’rob yaitu perubahan harokat akhir, karena kita ketahui kitab kuning ini adalah kitab yang gundul tidak berharokat. Hal ini juga memberikan pemahaman pada pembacanya terkait dengan kedudukan suatu kata, karena untuk memberikan pemahaman terkait dengan penjelasan artinya.

Syarat kedua. Bisa shorof, ini juga tidak kalah pentingnya dengan nahwu, karena shorof ini adalah ibunya bahasa arab sedangkan nahwu itu ayahnya, kelihatannya pekerjaan ayah itu sulit, tapi sejatinya pekerjaan ibulah yang paling sulit, itu berarti shorof lebih sulit dibanding nahwu. Di dalam ilmu shorof diajarkan tentang perubahan kata kerja dari bentuk awal Madhi, Mudlori’, Masdar, Fail, Maf’ul, Dhorof Makan, Dhorof Zaman, sampai Isim Alat. Semua itu terkumpul dalam kitab Amtsilati Tasrifiyah. Di samping itu memudahkan santri untuk mengetahui posisi atau status kata itu menjadi yang mana, dan juga akan tahu harokat awal dan tengahnya, sehingga menggampangkan kita untuk membaca dan menjalaskan pemahaman suatu kitab kuning.

Syarat ketiga, yaitu mengkuti pengajian bandongan. Bandongan adalah suatu pengajian yang mana ada yang membaca dan menjelaskan isi kitab kuning, di sisi lain ada santri yang mendengarkan dan menulis penjelasanya, syarat ini sangat penting dimiliki, karena santri harus bisa mengerti penempatan ilmu nahwu dan shorof yang dibaca oleh ahlinya. Dengan begitu santri akan lebih gampang dalam membaca kitab kuning.

Komponen terakhir yaitu praktek membaca atau sorogan. Apalah arti santri belajar ilmu alat dan shorof dengan matang tapi kita tidak pernah praktek membaca karena takut salah, rasa ini harus dihilangkan dengan secepat mungkin. Maka di sini pentingnya sorogan. Sorogan yaitu praktek membaca kitab kuning dengan disetorkan ke ahlinya. Manfaatnya adalah supaya santri terbiasa dan langsung mengetahui bagaimana letak pembelajaran ilmu nahwu dan shorof yang sudah dipelajari.

Jika santri sudah memiliki keempat komlponen itu maka insyaalloh santri tidak akan kesulitan dalam membaca kitab kuning. Sementara itu manfaat membaca kitab kuning sangat banyak sekali, antara lain bisa menambah wawasan keilmuan, langsung belajar dari sumbernya, dan bisa mengerti pemikiran ulama salaf yang sholeh.

Jauh di sana seorang ulama termasyhur yang menguasai ilmu tafsir al-quran dan fikih beliau adalah KH Bahauddin Nur Salim beliau terbilang masih muda. Uniknya meskipun mahir dan alim, beliau adalah ulama produk lokal dalam artian, beliau hanya menempuh pendidikan di Indonesia  saja tanpa menempuh pendidikan ke luar negeri yaitu Timur Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan keagamaan di Indonesia memang sangat tinggi.

Akhir-akhir ini pun banyak sekali bermunculan seorang yang mengaku Ulama, Kyai, dan Ustadz tapi tidak berkualitas sekali tingkat ilmu agamanya. Bahkan ketika cuma hafal satu dua hadits tapi sudah berani menggelorakan dirinya seorang Ulama, di lain sisi syarat menjadi Ulama memang bukan abal-abal.

Di era global ini memang sangat penting sekali seorang yang ahli ilmu ulama salaf, karena semakin langka seorang yang belajar tekun, hanya maunya instant dan tidak ribet. Untuk menghadapi hal ini posisi santri sangat penting dan dibutuhkan sekali. Semoga kita yang sekarang masih menjadi santri bisa memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin, dan terus menghidup-hidupkan agama islam. Amin yarobbal alamin. (Yuda)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *